Ketua Divisi Advokasi dan Ketenagakerjaan AJI Bandar Lampung itu menyatakan, dalam memenuhi hak Dian sebagai pekerja, pihak perusahaan menerapkan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, serta Peraturan Pemerintah 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) memutus bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Dalam putusannya, MK memerintahkan pemerintah dan DPR untuk memperbaiki UU itu selambat-lambatnya dua tahun.
Bukannya mengoreksi, pemerintah justru menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Beleid itu ditetapkan pada 30 Desember 2022. Artinya, pemutusan hubungan kerja sepihak terhadap Dian sebelum terbit Perpu Cipta Kerja.
“Seharusnya, perusahaan tetap menggunakan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai acuan dalam PHK,” ujar Derri.
Baca Juga Jual Sabu IRT Ditangkap Polisi, Ngaku Suruhan Suami
Menurutnya, kehadiran UU Cipta Kerja berdampak buruk terhadap pekerja. Banyak hak pekerja yang hilang. Salah satunya, Pasal 163 dan Pasal 164 UU Ketenagakerjaan dihapus dalam UU Cipta Kerja. Kedua pasal ini mengatur tentang hak pekerja atas pesangon sebesar dua kali dari ketentuan Pasal 156 ayat (2).
Melihat kondisi pekerja yang semakin rentan, konsorsium pun menyerukan pembentukan serikat pekerja media di Lampung. Keberadaan serikat pekerja penting untuk menjaga hak-hak pekerja serta posisi tawar pekerja di perusahaan. Konsorsium Gerakan Pekerja Media terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil. Selain AJI, organisasi yang tergabung dalam konsorsium ini, yaitu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, LBH Pers Lampung, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, dan Aliansi Pers Mahasiswa Lampung. (rls)