“Anak-anak di bawah umur bisa ikutan main ini, itu bisa bermain di Telegram, WhatsApp grup, dan media sosial lainnya, mereka ikut dalam satu grup tersebut dan akhirnya bermain peran, dan celakanya bisa bermain peran sebagai orang dewasa yang berkirim pesan, jadi sexting atau chatting berbau seks, jadi itu berpura-pura jadi kayak suami-istri,” kata Vivisyarif.
Selain itu, keselamatan anak-anak juga dapat terancam lantaran lawan yang diajak bermain RP tidak diketahui identitas sebenarnya.
“Memang ini hanya berpura-pura, roleplay. Zaman dulu kita juga kita pura-pura jadi ayah, jadi ibu sama boneka-bonekaan sama rumah-rumahan, namun ini sudah berbahaya karena melibatkan orang lain yang kita tidak tahu identitasnya,” ujarnya.
Baca Juga E-Sport Mobile Legends, Walikota Bandar Lampung Harapkan Kreatifitas Millenial
Identitas anonim di media sosial itu dinilai dapat menjadi celah bagi para pelaku kejahatan asusila yang menyasar anak-anak.
“Bisa jadi ada unsur-unsur pedofilia, atau unsur-unsur predator anak, jadi parents (orangtua) hati-hati,” ungkap Vivisyarif dalam unggahan di akun TikTok pribadinya.
Oleh sebab itu, dr. Vivisyarif mengimbau orangtua lebih bijaksana mengawasi permainan anak-anak di era sekarang.
“Kalau diketahui anak ternyata dia main RP ini, parents harus menjaga emosi, jangan memarahi dengan emosional karena gak akan berakibat baik bagi anak. Kita harus cari tahu bagaimana anak bisa mengetahui permainan tersebut,” tutupnya.